Graceful Home

 

Oleh : Sibghatin Desi Maulida


Rona jingga sudah menampakkan wajahnya ketika aku dan keluargaku menginjakkan kaki di tempat itu. Tempat yang katanya penuh dengan misteri boks tersembunyi yang sulit untuk dipecahkan. Akupun tak mengerti maksud dari rumor itu dan memang tak sekalipun terbesit niat untuk memikirkannya. Sudahlah jangan pedulikan rumor yang tidak jelas begitu, fokus saja padaku dan keluargaku yang saat ini sedang berlibur ke daerah pantai nan jauh di sana, entah apa orang-orang menamainya. Yang penting itulah tempat tujuan kami untuk menurunkan batu besar yang sedari lama betah menempati tiap bagian isi kepala. Sungguh kenikmatan yang begitu lezat di kala hembusan O2 mendorong masuk melewati helai demi helai rambut hidungku.

Tak sadar mata ini telah memejamkan dirinya terlalu lama, hal yang tak diingankanpun terjadi. Mataku sudah tak menangkap pergerakan dari keluargaku, padahal tadi masih kudengar suara mereka. Akupun menjadi bingung, seketika waktu seolah berhenti detik ini juga. Kebingungan ini terus berjalan sebanding dengan kakiku yang terus melangkah mendekati arah bibir pantai. Tapi, tiba-tiba bunyi ranting yang tak sengaja kuinjak, menyadarkaku bahwa saat ini aku sudah terlepas dari rombongan keluargaku, seperti anak bebek yang kehilangan induknya.

Dusta sekali jika aku masih berkata, "Aku tidak takut berpisah dari mereka karena aku sudah terbiasa sendirian." Bayangkan saja, Pantai itu begitu luas nan ramai, tapi atmosfernya begitu sepi dan menegangkan. Entahlaah.. Apakah karena aku yang fobia terhadap laut hingga merasakan suasana berbeda ketika berada di pantai atau memang keadaan tempat ini yang mengerikan, pikirku.

Tak ingin terus-menerus merasakan aura tersebut, maka kuputuskan untuk menunggu keluargaku berbalik mencariku. Menanti mereka di bawah pohon rindang nan rimbun di dekat pantai. Waktu yang terus berjalan menambah suasana hambar dalam liburanku yang seharusnya kumerasakan sebaliknya. Bahkan alampun tidak memihakku, ia membiarkanku berada di kesunyian, kehampaan, dan perasaan takut tidak bisa kembali ke tempat ternyamanku (kamar).

Benda bulat berwarna jingga yang tadinya sedikit menghibur kepanikanku, kini telah menenggelamkan wajahnya di balik selimut gelap di atas sana sehingga menyebabkan keadaan tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Tak terasa, aku sudah terlalu lama berharap mereka kembali menjemputku. Mungkin, mereka tidak sadar karena kebiasaanku yang selalu meminta waktu sendirian di kala pergi berlibur. Tapi mengapa? Haruskah kumenunggu selama ini? Haruskah memibarkanku sendirian selama ini? Aah..... Rasanya semuanya menjadi hayalan, sangat aneh jika dipikirkan, "Ya, memang aneh, kenapa pantai yang menjadi tempat wisata yang katanya terkenal, bahkan tidak memiliki lampu di malam hari?" protesku ketus. Kulihat sekeliling, tak ada seorangpun yang berlalu-lalang di depanku. “Aneh, mengapa situasi yang awalya ramai mendadak menjadi seperti kuburan?” Tanyaku terheran-heran.

Tak mau diam sendirian terlalu lama, akupun mencari sesuatu untuk menghibur kesendirian ini. Nyatanya hingga gelap menyambar tidak ada satupun dari keluarga yang menemukanku. Lalu, kulihat jam di tangan kiriku yang seolah mengatakan, "Kau sudah terlalu lama di sini. Seharusnya kau tak boleh di sini sekarang." Benar, tak kusangka aku sudah menunggu waktu selama itu,  terlihat di jam tangan itu jarum yang lebih pendek menunjuk pada angka 10, sedangkan jarum yang lebih panjang mengarah ke angka 39. "OH... SHIT!!" Umpatku kesal. "Sudahlah, aku tak bisa berpositif thinking untuk saat ini. Mungkinkah keluargaku memang berniat membuangku? Ahh.. Tidak mungkin, mereka terlalu menyayangiku kan." Ketika konflik batin sudah menyerang, itu tandanya aku sedang tidak baik-baik saja.

Pikiranku menjadi kacau, aneh, aneh, aneh sekali. Bisa-bisanya tempat yang tadinya seramai pertunjukan konser BTS saat ini sudah menjadi seperti kuburan? "OH NOO... SUARA APA ITU?" Teriakku kaget dalam hati. Aku mendengar langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahku. Sosok  itu terus saja menatapku. Badan yang tinggi namun kurus, kaki tanpa alas kaki, baju yang acak-acakan, kulit yang kering, kantung mata yang hitam dan mata yang seolah memaksa keluar dari tempatnya, semakin lama semakin menunjukkan batang hidungnya. Lagi-lagi terjadi hal aneh, kali ini badanku seakan dihipnotis untuk tidak meninggalkan tempatku berdiri. "SHIT!! BADANKU TIDAK BERGERAK. OOOHOO.. DIA SEMAKIN MENDEKAT. KENAPA KAKIKU TERASA BERAS SEKALI UNTUK BERLARI ATAU BAHKAN MELANGKAH SAJA?" Teriakku lagi dalam hati, karena lagi-lagi mulutkupun tak bisa membuka pintunya.

Tak lamapun, dia sudah berada tepat di sampingku. Kulihat dengan jelas jika dia adalah sosok pria paruh baya yang berpenampilan sangat buruk dengan rambut gondrong yang dibiarkan menjadi sarang dedaunan dan tangan yang memilki beberapa goresan seperti habis disayat-sayat. “Emm.. aku 100% yakin kalau dia itu sama seperti apa yang ada dalam benakku sekarang. Iya, aku yakin itu, tapi… ah.. sudahlah.” Batinku. Aku merasakan aura yang berbeda darinya, sepertinya dia memiliki sesuatu yang lain dalam dirinya. Tak ingin terus-terusan berburuk sangka, akupun memadamkan pikiran kotorku ini.

"Adek tersesat?" Sapanya.

"Bukan tersesat sih pak. Cuma saja aku terpisah dari rombongan entah kapan itu terjadi aku tak sadar, pak. Dan, sialnya Hp juga dompetku tadi kutitipkan dalam tas ibuku. Lalu, anehnya lagi nih pak, masak aku udah lupa jalan pulang. Logikanya loh pak, aku yang baru keluar dari mobil menuju ke pantai, dan tiba-tiba terpisah dari keluargaku, langsung lupa arah kembali. Kan, tidak mungkin kan ya? Eyalaah.. Kayak anak kecil aja." Aduh, Kenapa juga aku harus menjawab panjang lebar dan cerewet sih? Padahal tadi aku sudah berinat untuk sok2an ingin bersikap cuek dan misterius. Hm.. memang kebiasaanku yang nyerocos ini harus dihilangkan, kadang suka tak kenal situasi dan kondisi.

Kulirik pria itu setelah berkata panjang lebar, namun pria itu hanya tersenyum dengan mengangkat bibir atas sebelas kirinya. "Gebrukk...." hanya kata itu yang terakhir kudengar, sebelum kubuka mata ini dan yang terlihat adalah tempat yang kumuh, gelap, kotor, dan banyak sekali peralatan untuk menangkap ikan juga perlengkapan kapal. "Aww... Tempat apa ini? Di mana aku? Kenapa aku terbangun di tempat seperti ini?" Kataku bertanya-tanya.

Kuperhatikan sekeliling, tempat itu seperti bangunan tua yang sudah lama tidak ditempati. Terlihat jelas dari banyaknya jaring laba-laba dan lumut-lumut yang menempel di setiap sudut ruangan lembab itu. Tiba-tiba, aku mendengar suara yang tak asing datang menghampiri.

"Kamu sudah bangun ternyata. Cepatlah makan ini, sepertinya kau sudah lapar karena seharian ini pasti kau belum makan, kan?" Kata pria itu sambil menyodorkan piring yang berisi nasi serta lauk pauk yang kelihatannya enak.

"Terima kasih, pak. Tapi, aku tidak makan makanan dari orang asing." Tolakku.

"Kamu tidak usah takut. Aku di sini hanya ingin membantumu sampai orang-orang datang menemukanmu." Bujuknya.

Hei, apa pria itu pikir aku bodoh hingga mau-mau saja dibujuk? Sudah terlalu banyak lakon drama Korea yang sudah kutonton. Aku tahu situasi ini akan mengarah kemana. Ya, aku memang tidak mudah mempercayai orang, apa lagi dia itu orang asing yang aneh. Sangat aneh kan, tiba2 tidak sadarkan diri dan bangun2 sudah ada di tempat kumuh seperti ini, mencurigakan.

"Tapi, kalau memang pria itu berniat jahat, kenapa kamu baik-baik saja? Kamu masih bertemu pria itu kan, bukan bertemua Mungkar Nakir kan? Lihat ini, kamu malah diperhatiin dengan dikasih makan,  dan lengamu juga bebas dari lilitan tali." Ucap suara samar yang selalu saja hadir di antara sikapku yang ingin berhati-hati dengan sikapku yang tak ingin menilai orang dari sampulnya saja. “Dasar si overthinking-ku selalu saja menemani di saat seperti ini. Bisa gak sih, sependapat saja dengan diri sendiri? Jangan terlalu positif dan jangan terlalu negatif jika berada dalam situasi yang seperti ini.” Batinku kesal pada diri sendiri.

"Krukk..krukk..." Bunyi perutku pertanda aku harus memberinya asupan nutrisi. Maka, mau tak mau aku harus memakan makanan yang diberikan pria tadi. "Ah.. Ya sudahlah. Kumakan saja ini, jika matipun aku bakalan mati dalam keadaan kenyang. Bersyukur kan, hahaha…" Lagi dan lagi, kebiasaanku yang selalu membuat lelucon, harus muncul di kondisi yang salah. Sungguh menyebalkan.

Tidak terasa sudah dua setengah hari aku berada di ruangan gelap ini. Bahkan, aku tak lagi mendengar suara apapun dari luar sana. Sepertinya tidak mungkin jika aku masih berada di dekat pantai. Pastinya, jika masih di sekitar pantai aku bisa mendengar suara keramaian. Tapi sekarang, bahkan suara deraian anginpun tidak menggelitik telingaku. "Sial, di manakah aku sekarang? Kenapa tidak ada orang yang mencariku? Apa keluargaku tidak khawatir padaku?" Pikirku bertanya-tanya. Yasudahlah, aku pasrah saja untuk saat ini.

Dan, selama itu pula aku belum melihat pria yang memberiku makan lusa kemarin. Aku pikir, pria itu memang berniat baik kepadaku, sejak pertama aku terbangun di ruangan ini, dia sudah menyediakan begitu banyak makanan untukku. Sepertinya dia baik, dia benar-benar tak ingin membuatku mati dan menolongku. "Eh.. Kalau memang benar dia mau menolongku. Kenapa aku disembunyikan? Kenapa juga aku gak boleh keluar selangkahpun dari ruangan ini?" Lagi-lagi pikiran2 curigaku hadir di tengah2 kesunyian.

"Kreekk..kreek.." tiba-tiba kudengar bunyi seseorang membuka pintu. Lalu, kuintiplah asal suara itu dari sela-sela tirai yang menjadi jarak antara pintu dan ruanganku saat ini. "Loh... Siapa lagi dia? Kenapa dia bersama anak kecil?" Kataku heran.

Kutebak umur anak kecil sekitar 7 tahun. Dia dibawa masuk oleh pria yang mungkin berumur 30an tahun dengan badan yang agak berisi dibanding pria paruh baya yang membawaku lusa kemarin. Tapi, perawakannya tidak jauh berbeda dengannya, dia sama-sama memiliki kulit yang kering, kantung mata yang hitam dan mata dengan tatapan kosong, pandangan yang seolah tak fokus pada lawan biacaranya, tangan kiri yang habis disayat-sayat, lalu kulit yang pucat dan kusut meski badannya lebih berisi dibanding pria yang membawaku itu. Tak lama setelah mereka masuk dari pintu itu, pria yang membawaku tiba-tiba menyusul mereka di belakangnya. "Aneh. Sangat-sangat perlu ditelurusi nih." Ucapku lagi.

Hal ini aku bertekad untuk mencari tahu jawaban dari teka-teki yang selama ini bermain di pikiranku. aku tak lagi bisa dibiarkan hal ini terus-menerus, sungguh tak akan ada kejadian aneh yang berulang terus-menerus dan tak ada pula kecurigaan yang terus menghantui. Kalau seperti ini, bukan lagi niat untuk membatu, sudah sangat mencurigakan ketika dia membawa anak itu ke sini. Untuk membayar rasa curigaku, akhirnya kuberanikan diri melangkah ke luar dari ruanganku dan bertanya kepadanya, "Pak, anak kecil itu siapa? Dan siapa om itu?"

"O.. Dia teman bapak, dek. Dan anak ini sama sepertimu. Dia sedang tersesat." Jawabnya.

"Aneh, aneh sekali." Hanya kata itu yang selalu terlintas di benakku. "Mana mungkin aku yang hilang belum seminggu saja udah ada anak lagi yang hilang? Dan kenapa harus selalu dibawa ke tempat ini? Bukankah seharusnya kami dibawa ke petugas pantai? Atau telpon polisi?" Banyak sekali pertanyaan yang membuatku ingin membuang saja otak ini. Sangat melelahkan menjadi seorang yang terlalu peka.

Kecurigaanku tak akan kubiarkan. Diam-diam aku menunggu pria paruh baya itu dengan pria satu lagi yang katanya adalah temannya keluar dari tempat ini, lalu akan kuikuti sampai pintu itu. Berharap aku mendapatkan kata kunci untuk mengisi setiap kotak teka-teki ini. Dan ternyata benar, aku mendengar suara samar-samar dari balik pintu. Sepertinya mereka masih berbicara di depan pintu tempat ini.

"Tangkapan kita lumayan hebat sekarang. Satunya anak kecil dan satunya lagi sudah gede. Nanti, yang kecil kita jual ke pedagang gelap di Cina setelah kita mengambil organ-organnya. Dan yang satunya kita bius lalu kita bawa ke Amerika buat dijadiin pelacur. Aku lihat dia lumayan menarik. Kapan kita akan memprosesnya, bung?" Suara yang masih jelas terdengar meski harus menempelkan kuping ini ke permukaan pintu.

“Ya kamu benar. Akhirnya aku tak perlu merasakan sakit lagi harus menahan gejolak rindu pada benda itu. Pokoknya, besok kita harus mendapatkan uang yang banyak dari dua tangkapan kita ini. Bertahan selama tiga hari saja aku sudah kewalahan, apa lagi menundanya lagi. Jadi, besok pagi kita langsung eksekusi, gak usah menunggu lagi.” Balasnya.  

"DEG DEG DEG DEG DEG…..” Mungkin pukulan beduk akan kalah dengan bunyi dada kirikku saat ini. "SIAL. SIAL. SIAL. POKOKNYA AKU HARUS SEGERA MENEMUKAN CARA UNTUK KELUAR DARI SINI.. AARRGHHH... SUNGGUH PRIA-PRIA BRENGSEK YANG TOLOL. KASIAN ANAK ITU." Teriakku dalam hati. "Pantas saja aku dan anak itu diperhatiin, dikasih makan, dan dirawat, jadi mereka ingin menjual kami. Benda apa yang mereka biacarakan, bahkan keselamatan kami saja dipertaruhkan untuk benda itu." Pikirku lagi.

Keesokannya, aku pura-pura bersikap biasa saja seperti tak pernah mendengar perkataan mereka yang kemarin. Semenjak aku keluar dari ruanganku untuk menanyakan anak kecil dan pria yang membawanya kemarin, aku sudah di bebaskan untuk berkeliaran menelusuri setiap sudut tempat kumuh ini. Ketika pria paruh baya itu memasuki tempat ini, langsung saja kubersikap sok akrab kepadanya, "Hai pak. Mana nih makanan kita hari ini? Aku sudah lapar, pak." Tanyaku.

"Kamu tunggulah di sana (menunjuk ke arah ruangan satunya). Nanti makananmu akan diantarkan ke ruangan itu. Anak ini butuh makanan yang beda denganmu sebab kalian memilki perut yang berbeda. Karena dia lebih kecil, jadi kamu bersabar ya.. bapak masih harus melayani anak ini." Pintanya.

"Ah... Baiklah pak. Jangan lama-lama (yang lama saja pak. Biarkan aku sendirian dengan lama agar aku memiliki cara untuk bisa kabur dari sini)." Baguslah, untung juga ya aku sudah terlatih memakai topeng selama ini, jadi sangat mudah mengibuli bapak tua itu. Bukannya aku tak ingin menyelamatkan anak itu, tapi jika aku memaksa membawanya ke ruanganku, kami berdua sama-sama tidak akan selamat nantinya. Dan penjahat itu akan tetap selalu berkeliaran dengan bebas. Terkadang, menjadi tega dan egois juga dibutuhkan untuk sesuatu yang lebih baik setelahnya. Orang-orang seperti mereka memang harus ditangkap dan dihukum dengan berat. Untuk itu, satu-satunya cara adalah aku harus mau berpisah dengan anak itu dan mencari celah untuk kabur dari sini dan melaporkannya kepada pihak berwajib.

Tak hanya diam saja di ruangan sebelah. Aku menguping ruangan tadi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada anak itu. Tapi anehnya, aku tak mendengar suara apapun dari ruangan sebelah. Tiba-tiba, aku melihat cairan merah masuk di sela-sela pintu menuju ke arahku. "Tumben-tumbenan si bapak bikinin kami minuman yang ada rasanya." Bodoh, aku masih saja berpikir positif. Lalu, kusentuhlah cairan yang sudah ada tepat di bawah kakiku untuk mencium bau cairan itu. Niat awalku adalah untuk mengetahui minuman rasa apa yang sedang bapak itu buat. Tapi... Aku salah..

"OH GOD!" Pekikku. "INI DARAH. INI DARAH. Apa yang mereka lakukan pada anak malang itu? Ah..  gak mungkin, kan? Mereka benar-benar setega itu membunuh dan mengambil organ dalamnya? Tapi kenapa? Kenapa aku gak bisa mendengar suara apapun di ruangan yang bahkan tak kedap suara ini? Apakah mereka memiliki teknik membunuh yang lihai?" Pikirku lagi.

Jika diam saja di situasi gawat darurat ini adalah hal yang paling bodoh jika kulakukan. Maka, aku berkeliling mencari celah untuk kabur. Aku ingin menyelamatkan diri dan memberitahukan bahwa aku disandera dan ada anak yang telah menjadi korban pembunuhan. Dan lagi, aku tak ingin menjadi incaran om-om hidung belang di Amerika nanti kalau jadinya aku benar-benar dijual ke sana. Padahal impianku berkencan dengan om-om, bukanlah seperti mereka. Tapi, yang aku inginkan kan adalah om-om Korea seperti Kim Soo Hyun, dan om-om Thailand seperti Tay Tawan. "SHIAA..! Dasar aku, bukan saatnya buat nge-fangirl di situasi bulshit kayak sekarang ini." Umpatku pada diri sendiri.

Aku melihat ke sekeliling ruangan, melihat dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri untuk mencari celah agar bisa kabur. Saat mencari, aku menemukan tombak ikan tersempil di antara lemari usang di pojok sana. Ketika berusaha mengambilnya, ada serbuk aneh di lantai dekat tombak itu, yang kurasa aku tahu apa itu. Ditambah, ada jarum suntik kotor bekas pakai yang seakan sering digunakan. “Aku yakin, kecurigaanku pas pertama kali bertemu dengannya itu benar. Sekarang, aku benar-benar sudah yakin. Ya, sebagai anggota organisasi tentang hal itu di kampusku, tentu saja aku sudah sangat tahu di luar kepala.” Tak ingin berlama-lama memikirkan itu, langsung saja kuambil tombak ikan itu sebagai senjataku jikalau nanti tiba-tiba mereka menyerangku.

Sepertinya kali ini alam semesta berpihak kepadaku. Aku melihat lubang besar di atas sana, dan ada juga alternatif mudah untuk menuju ke atap genteng. Tak usah berpikir lama, langsung kupanjat satu per satu tumpukan meja yang tersusun bak tangga di rumah Sisca Kohl.

"Kriikk.. (aku tak sengaja menginjak meja yang rapuh) Sssshitt.. Kenapa harus ada suara sekarang juga sih?" Keluhku.

Benar saja, si teman si pria paruh baya itu langsung berlari masuk ke ruanganku dan menemukanku yang sudah berusaha kabur untuk sampai ke lubang atap sana.

"HEEII.. TEMANN... DIA BERUSAHA KABUR LEWAT ATAP." Teriaknya pada pria paruh baya yang masih mengurusi anak malang tadi.

"CEPAT KAU URUSI DIA. BIAR AKU YANG MENANGANI ANAK KECIL INI SENDIRIAN." Balasnya.

"Hei limbah busuk. Jangan coba2 mendekat ya! Atau enggak, akan kucolok matamu pakek tombak ikan ini." Ancamku.

"Hahahahaha... Jangan mencoba melawak ya... Emang dasar, gadis zaman sekarang berani memainkan lelucon dan ngelawan pada orang yang lebih tua." Ucapnya.

"Hello.. Kau sendiri? Dasar limbah. Orang tua seperti kalian tidak bisa dianggap sebagai orang tua. Bahkan, anjing dan babipun masih jauh lebih berguna dan berharga ketimbang kalian para predator menyebalkan." Ucapku berusaha membalas perkataannya.

Sepertinya, dia tidak menghiraukan ancamanku. Terbukti, saat ini dia sudah mengejarku dengan memanjat satu persatu pijakan yang tadi kulewati. Sesaat dia  mulai mendekat....

"RASAKAN INI.. MAMPUS KAU.. BIAR BUTA SEKALIAN. NIH LAGI. RASAKAN INI. SUDAH KUBILANG JANGAN MENDEKAT. INI TAK SEBERAPA DIBANDINGKAN DENGAN PERBUATAN KALIAN PADA ANAK MALANG ITU. (Lalu kudorong dia dengan tombak yg kupegang)." Baru kali ini aku merasa lega telah menusuk-nusuk orang. Padahal sebelumnya, memukul orang saja aku tidak tega.

"Oii.. Paman tua karatan, oi.. Apa kau sudah mati? Eyalah.. Gak seru. Masak cuma ditusuk mata dan jantung aja sudah meleyot ke bawah?" Ejekku. “Makanya, jangan coba-coba gunain benda itu untuk kenikmatan sesaat. Lihat sekarang, bahkan tusukanku yang gak dalam saja sudah membuatmu mati.” Gerutuku.

Hm.. Bagaimana tidak, pria itu sudah pasti memiliki daya tahan yang lemah karena benda itu sudah lama menjadi teman hariannya. Ditambah lagi, tombak ikan yang kugunakan memang sudah berkarat. Dan pada saat aku menusuknya juga tepat di mata dan dada kirinya. Pantas saja dia langsung mati. Tapi, baru kali ini juga aku merasa beruntung membunuh orang.

Namun, aku berbohong kalau berkata bahwa aku tidak gemetar sama sekali, tidak takut sama sekali, tidak panik sama sekali, aku dusta jika berkata itu semua pada saat melakukan tindakan buruk tadi. Sungguh jelas sekali saat ini tanganku gemetaran tak karuan dan jantungku berdetak dua, tiga, atau bahkan empat kali lebih cepat dari biasanya.

"Diamlah kau jantung, bukan saatnya kau untuk berdugem saat ini. Iya.. Iya.. Aku tahu, aku sudah berstatus sebagai pembunuh. Tapi, apa salahku? Aku hanya berusaha menyelamatkan diri. Dan, itu boleh dilakukan dalam agamaku kan." Kataku untuk menenangkan diri yang sedari tadi sudah merasakan campur aduk.

Tangan ini yang masih saja gemetar, lantas tak sengaja menjatuhkan tombak ikan yang telah menghilangkan nyawa pria tadi. "Bruk (bunyi tongkat itu)." Langsung saja kupercepat langkahku untuk segera meraih luabang yang sejengkal lagi dapat kuraih. Tapi tiba-tiba, pria paruh baya itu masuk ke ruanganku setelah tidak mendengar perdebatanku dan suara-suara aneh (mungkin) dengan temannya tadi. Dengana terpampang jelas sekali, dia sudah menyaksikan temannya yang tergeletak di lantai dengan dibanjiri jutaan liter darah saat ini.

"SIALAN. BERANI2NYA KAMU MEMBUNUH TEMANKU? AWAS KAU, AKAN KUHABISI. PERSETAN DENGAN JUAL KE AMERIKA. KALAU SUDAH BEGINI, AKAN KUHABISI KAMU HARI INI JUGA." Teriaknya dari bawah sana.

"ADUH PAK. KAYAK YANG SUCI AJA KAMU YA. PADAHAL KAMU SENDIRI BARU AJA MEMBUNUH ANAK KECIL ITU KAN? SEHARUSNYA AKU YANG MEMBUNUHMU SEKARANG. BUKANNYA MALAH KAMU YANG MARAH. PANTAS DONG AKU HARUS MEMBUNUH ORANG SEPERTIMU DEMI MENYELAMATKAN DIRI. KAMU BERHAK UNTUK DIMUSNAHKAN. DASAR PREDATOR HAMA MASYARAKAT." Balasku hingga terasa sudah kehabisan salivaku karena harus berteriak.

"COBA SAJA KAMU KABUR. KAMU TIDAK AKAN BISA MELANGKAHKAN SELANGKAH KAKIPUN UNTUK BISA KELUAR DARI RUANGAN INI. TIDAK AKAN!" Ucapnya.

"OH YA? BENARKAH? LALU APA AKU SEKARANG INI? KAU TAU PAK TUA? SEKARANG, AKU SUDAH MELIHAT BANYAK MOBIL POLISI MENGEPUNG TEMPAT INI SEKARANG." Ucapku.

"HALLAH.. KAU TAK USAH BERBOHONG UNTUK MENGIBULIKU. BAGAIMANA BISA POLISI MENEMUKAN TEMPAT INI? TEMPAT INI HANYA AKU DAN TEMANKU SAJA YANG TAHU." Balasnya tidak percaya.

"HEI PAK.. APA USIA TUAMU SUDAH CUKUP MEMBUATMU BODOHKAH? KAU TAK LIHAT KETIKA ANAK KECIL YANG TEMANMU BAWA MASUK KE TEMPAT INI, DIA MEMAKAI KALUNG YANG BERHARGA. KAU TAHU APA ITU? YAA.. ITU NAMANYA ALAT PELACAK, BDH. JADI MUNGKIN SAJA ORANG TUA ANAK ITU SUDAH MELAPOR DAN MEMINTA PADA POLISI UNTUK MELACAK ANAKNYA." Balasku. "GAME OVER!! TAMAT RIWAYATMU PAK, PAK. SEGERALAH AKHIRI INI DAN MENYERAHKAN DIRI." Tambahku lagi.

Tidak sia-sia aku banyak menonton drama bergenre aksi. Wohoo.. Sangat berguna di situasi seperti sekarang. Sunggug pengalaman yang berat, menakutkan, dan tak terlupakan.

"HEI KAU! TURUNLAH SEKARANG JUGA. ATAU KAU, AKAN KULEMPARKAN PISAU DI TANGANKU INI." Ancamnya dengan menodongkan pisau besar di tangannya.

"PAK. PAK.. IKAT SAJA RAMBUT BAUMU ITU, SUNGGUH MERUSAK MATA SAJA MELIHAT RAMBUT GRONDONGMU YANG BERANTAKAN. SUDAHLAH PAK, KAU SUDAH GAME OVER. LIHAT NIH, POLISI SUDAH MELAMBAIKAN TANGAN PADAKU." Balasku teriak sambil melambaikan tangan pada para polisi di bawah sana. Tapi, herannya, dia masih saja berusaha, dia masih saja memaksa memanjat untuk mengikutiku ke atap ini. Aargh... Sungguh pria tua bangka yang menyebalkan nan keras kepala.

Saat ini, polisi sudah berhasil mengevakuasiku. Aku tak tahu dan tak mau tahu apa yang dilakukan pria itu di tempat itu, bersembunyikah atau kaburkah aku tak mau memikirkannya. Karena saat ini aku yang masih gemetaran, sesak napas, dan ketakutan. Ditambah, aku harus menjawab pertanyaan yang diajukan anggota polisi ini.

“Nak, di dalam sana, ada berapa orang?” Tanyanya.

“Ada tiga orang, pak. Satu anak kecil yang sudah dibunuh oleh pria yang menyanderaku. Aku minta maaf karena aku gak bisa menyelamatkan anak itu. Dan satu lagi, pria yang merupakan teman pria yang menyanderaku, dan dia sekarang sudah mati juga karena di saat aku berusaha kabur untuk menyelamatkan diri, dia tiba-tiba mendekat dan menyerang. Sungguh pak, jika aku ditangkap karena membunuh orang, aku tidak tahu lagi hukum di negara kita ini berpihak pada siapa. Dia terbunuh karena aku harus berusaha menyelamatkan diriku sendiri, pak. Salahkah aku, pak?” Tak sadar, air mataku sudah membanjiri pipi tatkala menjelaskan hal itu, tangan ini masih saja gemetar dan wajahku sudah pucat sepucat-pucatnya.

“Baiklah nak. Kamu tunggu di sini sebentar. Tunggulah pihak kami yang sudah mendobrak dan menelusuri TKP.”

“Pak. Satu lagi, aku memiliki kecurigaan pada mereka sejak pertama kali bertemu dengannya.” Kataku.

“Apa yang kamu curigai, nak?” Tanyanya.

“Sepertinya mereka seorang pecandu narkoba. Kecurigaanku terbukti setelah menemukan serbuk aneh dan alat suntik bekas pakai di lantai. Jadi, jika bapak polisi berhasil menangkap pria yang menyanderaku ya karena dia satu-satunya yang masih bernapas, maka tolong lakukanlah tes urine kepadanya. Dan, untuk pria satunya yang sudah mati, lakukanlah autopsi secara menyeluruh. Aneh saja pak, jika bukan karena daya tahan tubuhnya yang lemah, tidak mungkin tusukan yang pasti tidak dalam, sudah membuatnya meninggal dengan mudah dengan sekali serangan.” Bukannya aku sok tahu dan mencoba memerintah pihak yang lebih tahu, karena tentunya polisi memang harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, aku masih saja takut apabila kedua penjahat itu tidak mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya. “Lalu pak,…”

Belum sempat aku meneruskannya, polisi yang berada di TKP tiba-tiba berteriak, “REKAN-REKANKU, SAAT INI PELAKU SUDAH BERHASIL KAMI AMANKAN.” Teriaknya.

Aku melihat pria tua itu dengan tangan yang sudah diborgol lalu beberapa polisi membawanya ke mobil keamanan. Tak lama menatapnya, sontak mataku mengeluarkan air mata dan tanganku semakin gemetaran. Seketika itu juga aku merasakan sesuatu menyempit di tenggorokanku, frekuensi napasku mendadak menjadi cepat, dan mulutku terus-menerus menganga membantuku bernapas. Sudah jelas bahwa kejadian ini tak ingin lagi kuharapkan terjadi dalam hidupku. Cukup sekali terjadi padaku, dan kumohon jangan pernah terjadi pada kehidupan orang lain.

“Sudah nak, kamu istirahat saja dulu. Kamu terlihat tidak sehat dan pastinya itu membuatmu trauma kan?” Ucap polisi yang sedari tadi mengajakku ngobrol. Aku takjub, baru kali ini aku bertemu dengan polisi yang peduli dengan kesehatan mental korban, dan mendengarkan tanpa menghakimi.

“Segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut dan bawa tersangka ke kantor kita sekarang juga!” Titah polisi yang sepertinya merupakan atasannya.

TAMAT J


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGUMUMAN LOLOS TAHAP INTERVIEW 2020

Berita Acara Kajian Fotografi dan Videografi 2023 UKM IKPAN UINSA

Berita Acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) 2023 UKM IKPAN UINSA)