Kartini Telah Wafat, tapi Patriarki Masih Menjilat
Oleh: Sibghoo_
Berawal dari bentuk kegelisahan dan
kejengkelan mengamati akhlak masyarakat Indonesia yang kian hari kian terkikis baik
di dunia nyata maupun di dunia maya. Terutama ketika membahas permasalahan
mengenai perempuan, rasanya darah menculak melambung tinggi menuju puncak
perbatasannya. Jika terus dipendam dan dipikirkan, seakan-akan seperti menimbun
sampah dalam diri. Hal ini tentunya akan berakibat pada kesehatan jiwa, karena
jiwa tidak bisa berlama-lama menampung energi negatif yang masuk. Untuk
menghilangkan sampah jiwa, self-healing yang
paling ampuh yakni dengan menulis.
Kebetulan pada Rabu, 21 April 2021 bertepatan
dengan peritangan Hari Kartini. Untuk turut memeriahkannya, penulis akan
mengusung tema mengenai isu perempuan. Sebagaimana R.A. Kartini yang dahulu memperjuangkan
hak emansipasi perempuan dengan kegigihan dan semangatnya, maka jangan sampai perjuangannya
sia-sia karena mengakarnya budaya patriarki di bumi Indonesia saat ini. Meskipun
R.A Kartini telah wafat, bukan berarti budaya patriarki harus terus menjilat. Dengan
demikian, diharapkan melalui tulisan ini, penulis dapat mengetuk pintu pikiran para
pembaca sekalian hingga meminimalisir rantai budaya patriarki. Baiklah, mari langsung
saja masuk pada pembahasannya.
Budaya Patriarki yang
Susah Hilang
Sudah menjadi rahasia umum jika
masyarakat Indonesia kental dengan budaya patriarkinya. Budaya patriarki adalah
sistem sosial yang memosisikan laki-laki sebagai sosok sentral dan berkedudukan
di atas perempuan dalam segala aspeknya. Dampak dari budaya ini tidak hanya dapat
dirasakan oleh para perempuan saja, melainkan juga para laki-laki. Namun,
terkadang sebagian laki-laki masih denial
untuk mengakuinya. Beberapa contoh dari pengaruh budaya patriarki di
antaranya, makeup dan skincare yang dianggap hanya untuk perempuan,
menangis yang diidentikkan dengan perempuan, menari yang dikhususkan pada
perempuan, perempuan dianggap lemah, dan lain-lain. Sedangkan laki-laki selalu dikaitkan
dengan sesuatu yang dinilai “kuat” oleh masyarakat patriarki seperti bela diri,
sport, dan sebagainya.
Hanya berdasarkan beberapa contoh di
atas sudah dapat dikuak tentang bagaimana bentuk kerugiaan dari adanya budaya patriarki.
Acap kali ditemui di lingkungan kita, ketika ada seorang anak laki-laki yang
menangis, orang di sekitarnya langsung mengatakan, “Heh, anak cowok gak boleh nangis! Anak cowok kok nangis? Lemah!” Dapat
dilihat, bahkan dalam urusan perasaan manusia saja yang notabenya merupakan pemberian
Tuhan (Allah) telah menjadi sempit ruang lingkupnya. Seolah-olah yang boleh
menangis hanya perempuan saja dan seolah-olah menangis diartikan sebagai sosok
yang lemah. Stop membodohi diri
sendiri dan mari melek pengetahuan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Siti Andira dan Nanda Sari Nuralita tentang Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin
terhadap Simtom Depresi, disebutkan bahwa pada umumnya tindakan bunuh diri
kerap terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan.[1] Hal
ini terjadi karena perempuan lebih jujur dalam mengekspresikan perasaannya,
sedangkan laki-laki masih sering termakan oleh budaya patriarki. Kebanyakan dari
mereka enggan untuk menangis ketika sedih dan memilih untuk melampiaskannya
dengan cara marah-marah ataupun memendamnya. Karena, sebagian alasannya yakni menolak
untuk diklaim sebagai sosok yang lemah.
Banyak sekali hal yang dipeta-petakan
sebab adanya budaya ini. Beberapa di antaranya telah disebutkan di atas, dan di
sini mari kita ulas bagaimana pemetaan tersebut dapat merugikan keduanya. Menari,
menggunakan makeup atau skincare, memasak, bersikap lemah
lembut, atau semacamnya jelas selalu diidentikkan dengan perempuan. Lalu, ketika
ada laki-laki yang melakukannya, maka laki-laki yang demikian sering disebut
“bukan laki-laki”, dan sebaliknya ketika perempuan tidak bisa salah satunya
atau bahkan semuanya, akan disebut “bukan perempuan.”
Perlu diketahui bahwa setiap manusia sama-sama
memiliki dua hal dalam dirinya, yaitu sisi maskulin dan sisi feminin. Dua hal tersebut
menjadi bagian pada setiap diri individu, ada yang lebih dominan terhadap salah
satunya, ada juga yang sama rata (meskipun sangat sulit untuk bisa sama rata). Perempuan
yang lebih dominan dengan sisi maskulinnya mereka akan jarang berperilaku
sebagaimana masyarakat patriarki menilai perempuan. Begitupun sebaliknya, jika
laki-laki dominan pada sisi feminin, maka mereka akan jarang berperilaku
selayaknya masyarakat patriarki mengenal laki-laki.
Lalu, pantaskah mereka disebut “bukan
laki-laki” atau “bukan perempuan”? Tentu saja tidak sama sekali. Tidak ada satupun riset atau dalil yang
menyebutkan bahwa urusan A khusus diperuntukkan bagi laki-laki, sementara
urusan B khusus diperuntukkan bagi perempuan. Karena, urusan-urusan demikian
bukanlah kodrat melainkan hanya peran, pekerjaan, atau kemampuan domestik yang
baik laki-laki ataupun perempuan dapat melakukannya. Dulu, ketika terjadi Peristiwa
Jamal, Siti Aisyah r.a., yang menjadi pemimpin kelompok Jamal dalam melawan
pasukan Khalifah Ali. Dari zaman sahabat saja, perempuan sudah menunjukkan
keberdayaannya. Maka terbukti bukan? Jika dalam peran sosial, budaya,
pendidikan, atau politik, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang setara.
Apabila kita masih terus berpikir bahwa
sejatinya laki-laki berkedudukan di atas perempuan, maka sama saja kita sudah melewati
kehendak Tuhan (Allah). Sebab, dalam perihal derajat atau kedudukan, Allah
telah berfirman bahwa manusia diciptkana dengan kedudukan yang setara, yang
membedakannya kelak di akhirat hanyalah amal perbuatannya. Allah saja tak
membedakan derajat mahkluk-Nya di muka bumi (meskipun laki-laki dan perempuan
diciptakan berbeda). Sementara hamba-Nya yang sangat hina masih saja suka merendahkan
sesamanya akibat perbedaan itu.
Penulis pertegas sekali lagi bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Laki-laki dan perempuan
tidak ada yang saling mengungguli satu sama lain, perempuan bukan kelas kedua
dalam tatanan sosial kemasyarakatan sehingga keberadaannya serta suaranya juga
patut diperhitungkan dan dihargai. Sekalipun setiap individu—baik laki-laki
maupun perempuan—memiliki kapasitas dan daya kemampuan yang berbeda, tidak
sepatutnya untuk saling menjatuhkan dan merendahkan. Jadi, berhentilah termakan
pengaruh budaya patriarki, berhentilah saling mengejek dan mendiskriminasi, lalu
jujurlah pada perasaan diri sendiri. Sebab, yang mampu mengetahui nilai dan
kualitas dari diri sendiri, hanyalah kita sebagai individu tersebut.
Perempuan Itu Bukan
Objek, Bung!
Zaman sekarang marak sekali terjadi kasus
pelecehan seksual, baik di media sosial ataupun di dunia nyata. Yang mana korban
yang paling banyak adalah perempuan. Hal ini masih diakibatkan oleh adanya budaya
patriarki yang tetap meraja lela. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa secara umum
pelecehan seksual dibagi menjadi dua macam, yaitu pelecehan seksual verbal dan
nonverbal. Selain yang berkontak langsung dengan fisik (pelecehan nonverbal), semuanya
disebut dengan pelecehan verbal. Seperti cat-calling,
sexualizing someone,menatap
bagian-bagian tubuh tertentu dengan waktu yang lama, menggigit bibir atau lidah
sambil menatap orang lain (korban), melontarkan komentar cabul, mengirim
video/gambar berbau porno, dan lain semacamnya.
Pengetahuan tentang seks edukasi di
Indonesia terbilang sangat minim. Sebab, mereka masih menganggapnya tabu dan
aneh. Padahal salah satu tujuan adanya seks edukasi adalah untuk meminimalisir
adanya pelecehan seksual dan merangkul korban-korbannya. Karena itu juga terkadang
mereka (pelaku) tidak merasa bersalah sama sekali ketika melakukan pelecehan
seksual secara verbal, sebab yang mereka ketahui hanyalah pelecehan secara
nonverbal (menyentuh, mengelus, mencubit, memijat, atau tindakan pemerkosaan).
Itupun mereka masih saja tidak merasa bersalah dan yang sering disalahkan malah
si korban.
Karena budaya patriarki, mereka
(beberapa laki-laki) menganggap perempuan berkedudukan di bawahnya sehingga
ketika merendahkannya, mereka akan merasa puas. Menjadikan perempuan sebagai
objek hasrat seksualnya tanpa berpikir bahwa perempuan juga manusia yang
berdaya yang hidup sebagai subjek dalam masyarakat. Lalu, ketika pelecehan
seksual terjadi, korbanlah (perempuan) yang selalu disudutkan dengan berkata, “Oh pantesan dilecehin bajunya aja kayak
begitu. Makanya jangan kemana-mana biar gak ada yang ganggu. Makanya perempuan
jangan pulang malam”, dan lain-lain. Sungguh heran pada orang yang berpikir
demikian, adakah otak dalam dirinya? Padahal banyak kasus di luar sana yang sudah
membuktikan bahwa 100% salah pelaku.
Ketika menyalahkan baju, para predator seksual
dan orang-orang tanpa otak pasti selalu berdalih, “Kucing kalo ada ikan pasti langsung dilahap lah!” Hei Bung! Kalian itu
manusia bukan hewan, hewan punya hasrat seksual tapi tak dapat berpikir dan tak
punya malu, makanya di tempat umumpun hewan bisa melakukan skidipapap. Kalian mau disamakan dengan hewan? Bodoh sekali jika
terus menyalahkan baju yang dipakai korban. Seperti dilansir dari Detiknews, berdasarkan survei di tahun
2018 disebutkan bahwa 17% korban memakai pakaian tertutup, sedangkan 0,36%
memakai pakaian terbuka.[2]
Sekalipun bajunya terbuka, lalu berhakkah
kalian untuk melakukannya? Baju hanyalah style
fashion yang dipilih untuk dipakai dengan nyaman tanpa ada tujuan
sedikitpun untuk menggoda. Jika mereka mamakai pakaian yang terbuka, bukan
berarti mereka meminta untuk dilecehkan. Diibaratkan rumah, ketika kita melihat
rumah seseorang dengan pintu terbuka lebar, apakah kita berhak untuk masuk lalu
mengambil barang-barang di dalamnya? Tidak kan! Sebab, hal itu bukanlah hak
kita dan jika melakukannya berarti sudah
melakukan tindakan kriminal. Sampai di sini apakah bisa dipahami konteksnya?
Sesama pernah menjadi korban, penulis
sangat merasakan bagaimana dampaknya. Yang sering terjadi pada penulis adalah menjadi
korban perilaku cat-calling. Seperti
contoh, suatu ketika penulis pulang malam karena acara reuni SMA baru selesai, dan
tiba-tiba ada pemuda pengendara motor yang berkata, “(Cuit-cuit), cewek, kok baru pulang? Habis dari mana? Mau ikut aku ga?”
Sungguh sangat mengganggu ketenangan orang lain. Ketika penulis menceritakan
hal tersebut kepada salah satu teman, yang disalahkannya adalah penulis karena
pulang malam. Baiklah, waktu itu masih dapat diterima dan mengiyakannya saja.
Tapi, kejadian cat-calling tak hanya
terjadi di malam hari, melainkan di siang haripun masih sering merasakannya.
Contoh lainnya, banyak juga perempuan
yang menjadi korban pelecehan orang-orang di sekitarnya. Seperti yang
diberitakan oleh CNN Indonesia, pernah ada remaja putri berusia 16 tahun yang hamil
4 bulan akibat kekerasan seksual keluarga dekat sejak tahun 2017. Pemerkosaan
itu ternyata dilakukan oleh kakek korban berinisial AB (64) sebanyak dua kali
pada 2017, ayah korban A (37) sebanyak empat kali pada 2020, dan paman korban O
(35) sebanyak tujuh kali pada 2020.[3] Padahal
posisinya korban sudah tidak kemana-mana.
Di lingkup media sosial kasus pelecehan
seksual juga sering terjadi. Banyak para korban yang bercerita pernah dikirimi
foto alat kelamin orang-orang di sekitarnya, mendapat komentar cabul, dan
semacamnya. Penulis pernah menemukan satu video di Instagram Story salah
seorang teman, yang me-repost video
yang diposting oleh username @indonesiabutuhfeminis.
Video tersebut menunjukkan bentuk perilaku pelecehan seksual secara verbal,
padahal hal itu dilakukan oleh seorang dokter yang dapat dikatakan sudah
berpendidikan tentunya. Tapi, naasnya dalam konten tersebut pelaku memperlihatkan
ekspresi dan kata-kata yang menjijikkan ketika melakukan pemeriksaan pembukaan
pada perempuan yang akan melahirkan.
Dari beberapa contoh kasus di atas, terbukti
bahwa tidak ada alasan untuk menyalahkan korban karena 100% adalah salah
pelaku. Banyaknya kasus pelecehan seksual dengan berbagai bentuknya, sontak
terlintas dalam benak penulis, “Lalu kapan perempuan bisa merasa aman?” Sebenarnya,
masih banyak yang ingin penulis sampaikan. Namun, jika dituangkan semua akan
menjadi karangan novel nantinya. Sebagai akhir kata, penulis ingin mengatakan
bahwa budaya patriarki tak hanya merugikan perempuan, melainkan juga bagi
laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama dalam
masyarakat sekalipun diciptakan berbeda oleh Tuhan. Berhentilah mendiskriminasi
dan merendahkan perempuan, serta berhentilah menjadikan perempuan sebagai
objek. Maka dari itu, perempuan bisa merasa damai, aman, dan sejahtera
menjalani hidup.
Meminjam selogan ibu Kartini kita, “Habis
gelap terbitlah terang.” Penulis ingi mengatakan kepada para korban pelechan
seksual, jangan pernah menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berharga
hingga terpuruk dalam hidup. Sebab, kita manusia berharga bagaimanapun
keadaannya. Dan, ingatlah bahwa setiap masalah yang datang pasti akan ada
hikmah di baliknya. Selamat Hari Kartini! J
[1]
Siti Andira dan Nanda Sari Nuralita, “Pengaruh Perbedaan Jenis Kelamin terhadap
Simtom Depresi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. M. Ildrem Kota
Medan Sumatera Utara Pada Tahun 2017”, Buletin
Farmatera, Vol. 3. No. 2 (Juni 2018), 100.
[2] https://news.detik.com/berita/d-4635791/hasil-lengkap-survei-krpa-soal-relasi-pelecehan-seksual-dengan-pakaian,
diakses pada 20 April 2021.
Komentar
Posting Komentar